KIBLAT DAN JENGGOT.
Kiblat adalah arah menghadap dalam shalat. Dulu, sebagaimana nabi-nabi sebelum Muhammad SAW, terutama dari Bani Israil, kiblatnya adalah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, Yarussalem. Nabi Muhammad sendiri sejak awal, ingin sekali menghadap ke Ka'bah di Masjidil Haram. Sehingga, waktu di Makkah nabi shalat mengambil posisi di sebelah barat di belakang ka'bah. Tujuannya adalah agar dia bisa menghadap ke ka'bah sekaligus ke Masjidil Aqsha yang berada di timur. Ketika beliau hijrah ke Madinah, hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena ka'bah atau masjidil haram telah jauh berada di belakangnya. Sementara itu, hatinya selalu terpaut dengan ka'bah atau masjidil haram tersebut dan berharap Allah memakluminya.
Sah dan tak lama nabi di Madinah, hanya kira2 16 bulan berlalu, Allah kemudian mengabulkan harapannya, " Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." Q.S. al-Baqarah/2: 144.
Perubahan arah kiblat tersebut menggembirakan hati nabi, dan tidak bagi orang Yahudi dan orang orang yang lemah imannya. Hingga, peristiwa itu sempat menimbulkan kegaduhan dan kecaman terhadap nabi SAW dan agama yg dibawanya. Bahkan, ada di antara mereka yang mengatakan, bagaimana mungkin ajaran Muhammad merupakan ajaran yang benar. Kiblat saja yang merupakan sesuatu yang prinsip, begitu saja dirubahnya. Kecaman semacam itu bergulir begitu kuatnya. Hingga kemudian Allah menurunkan firmannya, "Bukanlah kebaikan itu karena engkau menghadapkan wajahmu ke timur dan ke barat, tetapi kebaikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada ketabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta minta, hamba sahaya, mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan orang yang menepati janjinya bila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, kesusahan, dan peperangan. Mereka itulah orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. Q.S. al-Baqarah/177.
Ayat di atas mematahkan anggapan Yahudi bahwa arah kiblat itu merupakan pokok ajaran atau hakikat kebenaran. Arah kiblat hanyalah aspek ekstrinsik dari ajaran agama bukan aspek intrinsik atau substansi. Hingga, merubahnya, tidaklah mengganggu kebenaran agama, sebagaimana yang dituduhkan Yahudi tersebut.
Bertolak dari kisah di atas, kita sebenarnya dituntut untuk bisa memilah mana hal-hal yang termasuk pokok ajaran dan mana yang bukan pokok ajaran. Hingga, kita tidak terjebak dengan cara pandang Yahudi tersebut. Betapa banyak orang sekarang meletakkan standar kebenaran dengan aspek luar yang lebih bersifat simbolik ketimbang isi. Misalnya, menjadikan jenggot sebagai ukuran kebenaran. Menganggap yang berjenggot dan yang jenggotnya panjang sebagai orang yang paling benar dan paling sholeh. Jangankan jenggot, kiblat saja, kata Allah, bukanlah merupakan pokok ajaran atau kebenaran sejati. Kebenaran sejati itu adalah, iman, amal sholeh dengan beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Karena itu, silakan pelihara dan panjangkan jenggot. Tapi, jenggot bukanlah segala-galanya.
Wallahu a'lam
Wallahu a'lam
============
Menunggu sarapan.
Ht. Pangeran Padang, 23 Juli 2017
Menunggu sarapan.
Ht. Pangeran Padang, 23 Juli 2017
EmoticonEmoticon