BAJU KURUANG
Baju kuruang adalah pakaian khas perempuan Minang. Ciri-cirinya adalah longgar dan lengkap dengan sibanya, panjang sampai ke lutut, dan tebal (karena aslinya terbuat dari bahan beludru). Melihat kepada bentuknya yang longgar, panjang, dan juga tidak transparan, hampir dapat dipastikan bahwa pakaian ini lahir dari akulturasi budaya Minangkabau dengan Islam.
Menurut Judi Achjadi dalam buku "Pakaian Daerah Wanita Indonesia", baju kurung diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Islam dan India Barat. Ini terlihat dari leher berbentuk tunik. Baju kurung pada masa Malaka pada awalnya berpotongan ketat dan juga pendek. Konon, Tun Hassan merupakan orang yang mengubah potongan baju kurung menjadi lebih longgar dan panjang. Menurut Dato' Haji Muhammad Said Haji Sulaiman dalam buku "Pakaian Patut Melayu", baju kurung seperti yang kita kenal sekarang berasal dari masa pemerintahan Sultan Abu Bakar pada tahun 1800 di Teluk Belanga, Singapura. Sementara Mattiebelle Gettinger menjelaskan bahwa baju kurung telah dipakai oleh penari istana di Palembang dan telah menjadi jenis pakaian populer di Sumatera pada abad ke-20.
Pada masa-masa awal, baju kuruang tidak dilengkapi dengan jilbab yang menutup dada seperti sekarang ini. Dulu baju kuruang hanya dilengkapi dengan selendang yang kadang-kadang hanya dikalungkan di bahu atau dibiarkan terjurai ke bawah. Atau kadang-kadang hanya ditarok di kepala, tapi tak menutup rambut secara sempurna. Kini tampaknya baju kuruang sudah sangat sempurna. Lengkap dengan jilbab panjang menutupi dada. Dengan bahasa lainnya telah memenuhi ketentuan adat dan syari'at agama Islam.Seperti yang dikatakan oleh Wisran Hadi, tokoh budayawan kenamaan, bahwa standard pakaian perempuan Minangkabau itu adalah tidak menonjolkan bagian tubuh yang bisa menimbulkan ransangan seksual bagi lawan jenisnya.
Pakaian semacam ini dalam pepatah adat disebutkan, “Kain pandindiang miang, ameh pandindiang malu” (kain pendinding/pencegah gatal, emas pendinding/penutup malu ). Artinya pakaian itu digunakan untuk melindungi badan dari segala seuatu yang akan merusaknya. Sementara emas atau kekayaan digunakan untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak baik seperti meminta-minta dan untuk menebus kesalahan yang terperbuat.
Ketentuan adat dalam berpakaian sebagaimana yang dikemukakan di atas, kurang lebih sama dengan ketentuan yang digariskan oleh Islam. Seperti yang jamak diketahui, Islam memberikan beberapa kriteria dalam berpakaian, antara lain: 1). Pakaian harus menutup aurat yaitu, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sebagaiman yang disebutkan dalam sebuah hadits yang berarti, “ Hai Asma sesungguhnya seorang perempuan apabila telah cukup umur, tidak pantas terlihat tubuhnya kecuali ini dan itu, seraya Rasulullah menunjukan dengan isyarat pada muka dan telapak tangannya. (HR Abu Daud dan ‘Aisyah ra). 2). Tidak memperlihatkan bentuk tubuh, tidak tembus pandang, tidak menarik perhatian (Q.S. An-Nur 31 dan al-Ahzab 59. 3). Tidak seperti dandanan orang Jahiliyah (Qs. Al-Ahzab, 33. 4). Tidak menyerupai pakaian lawan jenis (hadits) yang artinya “ Dari Abu hurairah ia berkata; “ Rasulullah Saw mengutuk laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki (HR, Abu Daud ).
Perempuan Minangkabau yang setia dengan ketentuan berpakaian menurut adat Minangkabau dapat dipastikan bahwa pada hakikatnya dia sudah melaksanakan syari’at Islam secara baik. Bagi mereka hal itu tentu tidak mudah. Ditambah lagi dengan derasnya arus perekembangan fasion modern saat ini. Maka, pada penghujung tulisan ini, saya menghimbau agar kita semua, baik pribadi begitu juga institusi untuk mendorong perempuan-perempuan Minang membiasakan memakai maju kuruang kemana pun mereka pergi. Kita jaga adat kita, kita jaga agama kita, dan kita jaga adagium, “ Adat basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
tks
tks
PASCASARJANA IAIN BKT
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
03.05.2018
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
03.05.2018
EmoticonEmoticon