Selasa, 08 Mei 2018

MEMAHAMI MAKNA ELASTISITAS HUKUM ISLAM

MEMAHAMI MAKNA ELASTISITAS HUKUM ISLAM

-------------------------------------------------------------
(Dulu, tulisan ini secara utuh pernah dimuat pada harian Singgalang)

Hukum Islam memiliki banyak aspek yang menarik untuk dibicarakan. Antara lain adalah sapek fleksibelitasnya. Ada pendapat yang mengatakan bawa hukum Islam sangat kaku dan ketinggalan zaman. Hukum Islam itu hanya cocok untuk orang-orang Arab pedalaman dan terbelakang. Sebaliknya, ada yang memandang bahwa hukum Islam justeru sangat elastis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan, hukum Islam sangat sesuai dengan kehidupan masyarakat moderen dan maju. Tulisan ini mencoba memaparkan secara objektif bagaimana sesungguhnya hukum Islam tersebut.
Ibn Qayyim al-Jauziyah, seorang ahli hukum Islam klasik kenamaan, pernah menulis bahwa Hukum Islam dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, dan tradisi. Ungkapan ini sangat popular dan sering dijadikan sebagai semacam paradigma ketika seseorang membahas tentang pembaruan hukum Islam. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah hukum Islam yang mana yang dapat mengalami perubahan.
Ulama ushul fiqh, sering membagi hukum Islam menjadi dua kategori, pertama hukum-hukum yang berasal dari teks qathi (gamlang). Teks qath’i tersebut menerangkan tentang jumlah, kadar, kuantitas, tatacara, waktu, dan tempat secara rinci. Teks seperti ini dapat dilihat dari ayat-ayat dan hadis-hadis tentang ibadah, waris, hudud, nikah, dan prinsip-prinsip universal ajaran Islam. Kedua, hukum-hukum yang berasal dari teks zhanni (tidak gamlang). Teks zhanni tersebut dapat dilihat dari ayat dan hadis tentang bentuk-bentuk transaksi dalam muamalah, tatapemerintahan, dan ayat serta hadis mu’amalah (teks ayat dan hadis mengenai hubungan antara sesama manusia) lainnya.
Hukum-hukum yang termasuk ke dalam kategori pertama bersifat ta’abbudiy atau mesti dilaksanakan seperti apa adanya, tanpa perlu memikirkan alasan (illat) hukumnya. Sebagai contoh, ketika kita diperintahkan untuk mengerjakan shalat subuh dua rakaat, kita harus mengerjakannya dua rakaat, tanpa perlu mempersoalkan kenapa harus dua rakaat, atau mempersoalkan kenapa justeru tidak subuh yang lebih banyak rakaatnya daripada zuhur dan ashar. Begitu pula ketika kita diwajibkan mengeluarkan zakat perdagangan dua setengah persen pertahun dan zakat pertanian sepuluh persen setiap panen, kewajiban kita adalah melaksanakan seperti apa yang diwajibkan tanpa perlu mempertanyakan kenapa tidak zakat perdagangan yang harus dikeluarkan sepuluh persen dan zakat pertanian cukup dua setengah persen saja.
Berbeda dengan hukum-hukum yang masuk dalam kategori kedua. Hukum dalam bentuk kedua ini bersifat ma’qul makna atau dapat dibahas alasan hukumnya. Artinya kita dapat membahas alasan-alasan logis kenapa hukum seperti itu yang ditetapkan. Contohnya, kenapa jual beli dengan memesan atau menampah (jual beli salam) dibolehkan, atau kenapa boleh membeli barang dengan system kridit atau cicilan. Bukankah jual beli itu harus ada barangnya pada majelis akad, atau jual beli itu mesti tunai. Dalam merespon pertanyaan-pertanyaan tersebut kita bisa menjawab bahwa kedua bentuk jual beli tersebut dibolehkan karena ada kepentingan yang harus dipenuhi. Dan ketika kepentingan tersebut tidak ada lagi, kebolehan jual beli dengan sistem pesanan atau kredit tersebut juga bisa dihapuskan.
Dalam pada itu, hukum-hukum pada kategori pertama di atas bersifat tetap (tsawabit) tidak mengalami perubahan disebabkan perubahan zaman, tempat, dan tradisi. Merubah, baik mengurangi atau menambah, adalah bid’ah. Inilah sebabnya shalat dari dulu sampai sekarang tetap seperti itu dan tidak berubah-ubah. Itu pula sebabnya ibadah haji tetap ke Mekah dan dilakukan di bulan-bulan yang sudah ditentukan .
Berbeda dengan hukum-hukum yang berada pada kategori kedua. Hukum-hukum tersebut bisa berubah (mutaghayyirat) sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan tradisi. Pada hukum dalam kategori yang kedua ini yang bersifat tetap hanyalah prinsip-prinsipnya saja, seperti prinsip kejujuran, keadilan, dan tolong menolong. Sedangkan bentuknya boleh saja berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Nabi pernah mengatakan kamu lebih tahu dengan urusan dunia kamu.
Dengan demikian dapat difahami bahwa ada sebagian dari hukum Islam itu yang memang bersifat baku, tidak mengalami perubahan karena perubahan zaman, tempat, dan tradisi dan sebaliknya ada yang dapat berubah, berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman.
Berkenaan dengan masalah ini, kewajiban kita adalah menjadikan hukum yang bersifat tetap itu tidak berubah, dan menjadikan hukum yang berubah tersebut tetap pada perubahannya. Artinya jangan sampai kita memandang bahwa hukum-hukum yang sudah tetap dapat saja dirubah. Sebaliknya, hukum-hukum yang sebenarnya dapat berubah kita nyatakan sebagai hukum yang sudah baku yang tidak dapat berubah.Wallahu a’lam
PASCASARJANA IAIN BUKITTINGGI,
Rabu, 21 Maret 2018


EmoticonEmoticon